Sabtu, 21 November 2009

“MANYANGGAR” (Membersihkan Bumi dari Bahaya Bencana)


Solidaritas Rakyat Untuk Solusi Krisis Iklim Global
Jalan lain bagi masyarakat local dalam menyelamatkan kehidupan

By: Petak Danum, ARPAG, SHI, Kelompok Pengrajin Rotan, Petani Karet, Koperasi Hinje Simpei, WALHI, FOEi.

Manyanggar atau ruatan bumi dan atau manenga lewu biasa dilakukan oleh suku dayak ngaju sebagai masyarakat local yang bermukim di wilayah hutan – lahan gambut Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau dan Barito Selatan dan Kota Palangkaraya. Upacara adat ini salah satu bagian terpenting bagi suku dayak ngaju dalam memberikan ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta (Tuhan) dan Penghuni Alam Semesta atau alam gaib. Upacara ini di persembahkan karena Sang Pencipta dan penghuni alam semesta telah memberikan rejeki dan keselamatan selama masyarakat bekerja, berusaha di suatu wilayah yang diyakini sebagai sumber-sumber kehidupan generasi saat ini dan generasi mendatang. Untuk mewujudkan rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta dan penghuni alam semesta, maka, komunikasi terpenting bagi suku Dayak Ngaju di sampaikan dengan menyelenggarakan upacara adat Manyanggar (ruatan bumi). Thema Manyanggar (ruatan bumi) tahun 2009 ini adalah: Solidaritas Rakyat Untuk Solusi Krisis Iklim Global.

Latar Belakang: Lahan gambut Indonesia merupakan gambut tropis terluas didunia, sekitar 38 juta hektar (Dephut, 1997). Kekayaan ini sekaligus jadi petaka, pemerintah orde baru mengembangkan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar di Kalimantan Tengah melalui Surat Keputusan Presiden No 82 tahun 1996, untuk di cetak menjadi kawasan persawahan bagi kebutuhan nasional. Proyek ini sepertinya tidak banyak mempelajari kondisi gambut dan kehidupan masyarakat lokal. Akibatnya, proyek ini bukannya bermanfaat bagi lingkungan gambut maupun masyarakat lokal, tetapi menjadi bencana yang sengaja di ciptakan. Akibatnya, lebih 82.000 jiwa penduduk lokal kehilangan mata pencaharian. Kebakaran hutan dan lahan terjadi sepanjang tahun, sejak 1997 hingga sekarang. Banjir pasang surut jaraknya semakin lama dan dalam, kering terjadi dimana-mana. Rawan pangan beresiko terjadi sejak mereka kehilangan sumber pangan dan mata pencaharian. Juga ancaman menjadi pengangguran karena kebun dan tanahnya tergusur. Proyek ini salah satu dampak dari serangkaian pembangunan yang eksploitasi sumberdaya alam yang sangat berlebihan untuk memasok kebutuhan bahan-bahan mentah negara-negara kaya seperti Eropa, Amerika, Australia, Kanada, Jerman, Jepang, mulai dari hasil hutan, bahan tambang yang terdapat di daratan Borneo, membawa dampak kerusakan sumberdaya alam dan kehancuran kehidupan suku-suku Bangsa Dayak di Pulau Borneo. Kegagalan pembangunan global yang di prakarsai oleh negara-negara maju, membawa dampak berubahnya iklim dunia dan menyumbangkan kesengsaraan bagi penduduk-penduduk pribumi, termasuk pulau Borneo.

Proyek ini malapetaka bagi rakyat dan kedamaian penghuni ekosistem gambut. Kini, kawasan-kawasan gambut sejak transisi ke orde reformasi terancam menjadi konversi areal perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri, Pertambangan. Selain itu, solusi iklim gambut untuk penyerap karbon (carbon zink) –jasa lingkungan dari fungsi hutan. Inilah salah satu yang ditawarkan Indonesia dalam kesepakatan UNFCCC di Bali 2007, lewat REDD (pengurangan dari penyusutan dan pengrusakan hutan). Skema imbal jasa bagi hibah negara-negara maju (emitor karbon) yang tidak mau menurunkan konsumsi energinya (fossil fuel).

Upaya lain yang dilakukan masyarakat local di areal gambut yang mendapat pendampingan dan asistensi teknis Yayasan Petak Danum di Kapuas, sejak tahun 1999 sampai saat ini (2009) telah melakukan penyelamatan gambut di Kalimantan Tengah, dengan cara; penanaman pohon hutan gambut (50.000 ha), rehabilitasi kebun rotan beserta tanaman hutan rambatan (13.000 ha), kebun karet (5.000 ha), kebun purun, kolam ikan tradisional, mencetak sawah tradisional, menjaga hutan adat 200.000 hektar, membangun sekolah gambut dan melakukan dialog strategis dengan pemerintah daerah, pemerintah pusat serta jaringan kerja NGO di dalam dan luar negeri.

Belajar dari pengalaman dan penderitaan bersama, masyarakat local, yayasan Petak Danum, dan mitra kerja di tingkat basis menghargai upaya lain dalam arena forum-fourm international melalui UNFCCC di Bon Jerman Juni 2009, Bangkok International Meeting UNFCC 29 September 2009 – 09 october 2009 dan rangkaian Copenhagen Desember 2009. Tetapi, semua skema-skema penyelesaian krisis iklim akibat dampak gagalnya pembangunan global, menawarkan skema-skema REDD, CDM, Energy Bersih. Skema ini pada dasarnya tidak pernah mengakui hak-hak dan pengetahuan masyarakat local dalam pengelolaan lahan dan hutan gambut berbasis kearifan tradisional yang sudah teruji puluhan dan bahkan ratusan tahun lamanya. Dalam arena forum UNFCCC COP 15 di Denmark, tetap saja keberadaan masyarakat local tidak mendapat pengakuan atas sumbangannya untuk solusi krisis iklim global melalui praktek penyelamatan gambut secaratradisional. Sehigga, upaya lain bagi masyarakat local akan dilakukan melalui upacara adat “MANYANGGAR” (ruatan bumi). Ini bentuk jalan lain bagi masyarakat dalam memgkomunikasikan kepada Sang Pencipta, Semesta Alam, ketika komunikasi masyarakat local kepada pemerintah, dunia international tidak mendapat pengakuan. “MANYANGGAR” adalah pilihan tepat bagi masyarakat local untuk memberikan seruan kepada semua penghuni bumi dan pencipta alam semesta, bahwa, masyarakat telah menyumbang solusi krisis iklim global akibat kegagalan Negara maju membangun peradaban di muka bumi ini.

Manyanggar bertujuan untuk: 1) Mengkomunikasikan hak-hak masyarakat ngaju atas pengelolaan hutan dan lahan gambut kepada Sang Pencipta, Alam Semesta dan sesama manusia. 2) Mengkonsolidasikan masyarakat antar desa antar wilayah secara bersama dalam penyelamatan Gambut untuk keselamatan masyarakat dari generasi ke generasi dan lestarinya sumber-sumber kehidupan. 3) Menyerukan kepada semua pihak dari tingkat local, nasional dan International agar mengakui hak-hak masyarakat local tanpa syarat (afirmatif action) dalam pengelolaan sumberdaya gambut berbasis kearifan tradisional di Kalimantan Tengah sebagai kontribusi atas solusi krisis iklim dunia yang sedang dibicarakan di Kopenhagen Denmark (COP 15 UNFCCC bulan Desember 2009.

Diharapkan agenda manyanggar akan memiliki dampak pada: 1) Terbukanya komunikasi hak-hak masyarakat ngaju atas pengelolaan hutan dan lahan gambut kepada Sang Pencipta, Alam Semesta dan Sesama Manusia, 2) Terkonsolidasikannya masyarakat antar desa antar wilayah secara bersama untuk menyelamatkan gambut dan keselamatan masyarakat dari generasi ke generasi dan lestarinya sumber-sumber kehidupan, 3) Semua pihak dapat mendengar seruan masyarakat local dari tingkat local, nasional dan International untuk pengakuan tanpa syarat (afirmatif action) dalam pengelolaan sumberdaya gambut berbasis kearifan tradisional di Kalimantan Tengah sebagai kontribusi atas solusi krisis iklim global yang sedang dibicarakan di Kopenhagen Denmark (COP 15 UNFCCC Desember 2009)

Pelaksanaan kegiatan manyanggar dilakukan selama 3 (tiga) hari, dimulai tanggal 10 s/d 12 Desember 2009. Hari H manyanggar tanggal 12 Desember 2009. Rangkaian kegiatan lainnya : 1) Pertemuan antar Lembaga Adat/ Tetua kampung (10 Desember 2009), 2) Rehabilitasi Hutan Adat melalui penanaman pohon kehidupan (11 Desember 2009), 3) Musyawarah ARPAG (11 Desember 2009), 4) Manyanggar (Ruatan Bumi) hari H. 10,11 dan 12 Desember 2009, 4) Pendidikan Kader Management Pengelola Gambut (8 – 9 Desember 2009)Tempat penyelanggaraan manyanggar bumi ini di lakukan di sebuah desa antara Pulau Kaladan dan Tarantang, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.

Peserta kegiatan manyanggar (ruatan bumi) akan diikuti oleh sebanyak 5.000 – 10.000 warga, terdiri dari; 40 orang ARPAG, 40 wakil dari Lembaga Adat, 200 orang peserta upacara manyanggar dan 5.000 – 10.000 orang warga mengikuti manyanggar hari akhir. Desa-desa yang terlibat sekitar 52 Desa. Peserta wakil dari desa-desa sekitar eks PLG dan sekitarnya dari Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya. Kegiatan ini juga mengundang peserta yang berminat hadir, misalkan dari: Jakarta, Bogor, Banjarmasin, Sampit, Muara Teweh, dan sekitarnya. Pelaksanaan manyanggar dilaksanakan dengan biaya swadaya masyarakat desa-desa, lembaga, organisasi local yang menyumbang berupa natura (beras, ikan, sayuran, gula, kopi, dan perlengkapan manyanggar lainnya yang dibutuhkan). Sedangkan biaya lainnya akan diperoleh dari para pihak baik Instansi pemerintah local, lembaga swadaya masyarakat, personil yang peduli atas pelaksanaan manyanggar ini.

Demikianlah gambaran umum penyelenggaraan upacara adat “MANYANGGAR” dilakukan, agar mendapat perhatian dan dukungan dari semua pihak. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.

Panitia Pelaksana “MANYANGGAR”
Penanggungjawab: MULIADI. SE
Sekretariat Kerja Panitia: Jl. Karuing No. 06 RT. III RW. XVI Kel.Selat Dalam Kec.Selat 73516
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah – INDONESIA Telpon/Fax: 0513-22352
Email : petakdanum@gmail.com - Blog: www. petakdanum.blogspot.com – www.sekolahgambut.blogspot.com

Minggu, 19 April 2009

SEMUT, KEONG DAN BENCANA GAMBUT

Dukungan Materi Cerita rakyat untuk Sekolah gambut

Setiap tahun, wilayah gambut selalu mengalami pasang surut air dan sudah tentu akibat pasang surut air ini akan terjadi banjir. Tetapi banjir sekarang tidak sama dengan banjir tempo dulu. Banjir sekarang setelah paska PLG 1 juta hektar banjirnya dalam dan waktu banjir lebih lama, bisa mencapai 32 – 4 bulan lamanya. Kalau dulu banjir tidak lama, paling lama sekitar 1 bulan dan itu sudah tidak banir lagi.

Menurut bapak Soeharto salah seorang tokoh atau Kepala Dusun Telukung Punei, banjir saat ini tidak menentu, dan sering datang sebelum musimnya. Apakah ini tertanda lingkungan gambut sudah rusak akibat proyek 1 juta hektar yang menghancurkan sumberdaya gambut. Banjir setiap tahun terjadi, biasanya di tandai dengan beberapa isyarat atau pertanda. Misalnya, ada semut hitam berbaris rapi berjalan menuju dataran yang lebih tinggi, maka, tidak lama lagi atau sekitar 10 hari dari semut itu pindah, banjir akan datang. Untuk mengetahui tinggi rendahnya air banjir datang, masyarakat menghitungnya dari tanda – tanda telur siput (keong) yang berwarna merah muda melekat pada satu tiang atau pohon dengan ukuran ketinggian tertentu, misalnya 1 meter atau 1,5 meter, maka banjir itu akan datang kurang dari 1 meter. Bila telur keong itu memiliki ketinggian 2 meter lebih maka banjir datang akan mencapai 2 meter. Kenapa ketinggian banjir bisa diukur dari telur keong, karena telur keong itu sangat peka terhadap air, bila belum waktunya menetas maka, telur itu bial kena air akan membusuk (telur gagal). Sehingga keong akan meletakan telurnya itu jauh dari datangnya banjir.

Tetapi seteah proyek PLG 1 juta hektar, terkadang keong pun tidak mampu memprediksi besar kecilnya banjir tiba, karena iklim sudah berubah, disebabkan kerusakan gambut oleh proyek. Terkadang banjir sangat lama, dan kemarau mengeringkan gambut sehingga banyak terjadi bencana kebakaran. Ini cerita yang bisa disumbangkan untuk materi pendukung sekolah gambut dalam mempelajari tanda-tanda alam di wilayah gambut.

MERANCANG KURIKULUM SEKOLAH GAMBUT


Laporan Ringkas Lokakarya Penyusunan Kurikulum Sekolah Gambut
Kuala Kapuas, 10 Maret 2009

Sumberdaya gambut adalah kekayaan alam yang tidak banyak dimiliki oleh daerah lain. Sumberdaya alam ini memiliki potensi yang cukup besar bagi pendukung perekonomian, social dan budaya masyarakat lokal. Tetapi sumberdaya alam gambut ini pula memiliki kerentanan yang tinggi atas perubahan serta akan memberikan ancaman bencana masa depan. Kondisi ini pula yang membuat Yayasan Petak Danum berupaya untuk mendorong semangat masyarakat dalam menyelamatkan sumberdaya gambut.


Laporan ringkas ini dibuat untuk memberikan gambaran umum tentang hasil lokakarya penyusunan kurikulum sekolah gambut di Kalimantan Tengah. Dimana lokakarya ini bagian dari tahapan kegiatan penyusunan kurikulum sekolah gambut yang dilakukan oleh Yayasan petak Damum Kalimantan Tengah, dalam upaya membantu penyelamatan sumberdaya gambut yang saat ini kondisinya berada dalam ancaman kerusakan akibat dari hadirnya investasi perkebunan besar kelapa sawit di wilayah kapuas, Pulang Pisau dan Barito Selatan khususnya di wilayah gambut.

Untuk memulai gagasan sekolah Gambut, Yayasan Petak Danum (YPD) mengupayakan untuk melakukan penyusunan modul kurikulum pendidikan sekolah gambut, yang akan dilakukan selama 3 bulan efektif, mulai dari bulan Februari sampai dengan April 2009. Tujuan umum dari Sekolah Gambut adalah untuk mentrasformasikan materi-materi tentang gambut kepada semua kalangan masyarakat baik umum maupun para pelajar, guru sekolah di Kalimantan Tengah. Tujuan Khusus lokakarya penyusunan kurikulum pendidikan sekolah gambut adalah: 1) Bertukar Informasi dan Pengalaman peserta, 2) Membuat kerangka kerja kurikulum pendidikan sekolah gambut, 3) Membentuk tim penyusun kurikulum pendidikan sekolah gambut

Peserta, Waktu dan Tempat Peserta lokakarya ini sebanyak 20 orang terdiri dari praktisi Pendidikan, Damang, Tokoh Masyarakat, Dinas Instansi Terkait, Komite Sekolah, Mahasiswa. LSM baik di Kapuas maupun Di Kabupaten Pulang Pisau. (lihat daftar peserta). Lokakarya dilakukan tanggal 10 Maret 2009 bertempat di Ruang pertemuan Hotel Anggrek Hasil lokakarya penyusunan kurikulum pendidikan sekolah gambut diantaranya: Terbentuknya Tim penyusun kurikulum sebanyak 8 orang anggota terdiri dari: 1) SUWARNO (Diknas), 2) M. MUKSIN (dinas Pertanian), 3) WARDIYANTO (SMK III kapuas), 3) ABDUL MALIK (SMP I Pulpis), 5) ISKANDAR (SD Basarang), 6) MULIADI (YPD), 7) H. ADIATI (Jakarta), 8) KOESNADI (Bogor)

Tugas-Tugas utama tim penulis kurikulum adalah: 1) Mengumpulkan bahan dasar (bacaan) materi tentang gambut. 2) Pertemuan Tim Penyusun – untuk menyusun draft kurikulum di Kantor YPD – jl keruing no 6 Kapuas. 3) Lokakarya final Draft – diselenggarankan oleh YPD dan Tim Penulis dan praktisi lainnya di undang pada acara ini. 4) Presentasi atau Konsultasi hasil draft dengan Diknas Pendidikan dan Intansi terkait lainnya.

Diperolehnya kerangka kurikulum pendidikan sekolah gambut yang telah disepakati dan akan ditindaklanjuti oleh tim penulis terdiri dari:

1. Prinsip-Prinsip: Prinsip Operasional Ilmiah, Relevan, Sistematis, Konsisten, Memadai, Aktual dan kontektual, Fleksible dan Menyeluruh. Sedangkan Prinsip Pengembangan: 1) Berpusat pada potensi perkembangan kebutuhan dan kepentingan anak didik dan lingkungannya, 2) Beragam dan terpadu, 3) Tanggap terhadap perkemangan iptek dan seni, 4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan, 5) Menyeluruh dan berkesinambungan, 6) Belajar sepanjang hayat dan 7) Seimbang antara nasional - daerah

2. Sasaran Penerima Materi: Siswa Sekolah Formal: Kepada siswa sekolah SD, SMP, SLTA – ini berhubungan dengan materi yang akan di masukan – akan berbeda, SD di batasi dari kelas 4 s/d 6, Pada tingkat SD akan lebih Koqnitif (siswa diarahkan mengenal gambut) dengan cara gambar (visual). SMP – pengenalan , SLTA – pengenalan dan lanjutan, Bagaimana dengan Gurunya?

3. Standar Isi (Materi pokok), Pengenalan dasar tentang gambut. (Sejarah, pengertian gambut, pembentukan gambut, potensi sumberdaya gambut, jenis-jenis flora dan fauna, manfaat ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan) – Lihat bahan dasar informasi yang difoto kopi. Konsep lokal mengelola gambu - Praktek-praktek pengelolaan gambut oleh masyarakat lokal - Bagaimana untuk melestarikan sumberdaya gambut (untuk semua tingkatan sekolah).- metodologi praktek tidak membuat kerusakan, membuang sampah, mengenal pohon – satwa. Materi pokok lainnya: Aplikasi praktek untuk tingkat lanjutan; misalnya pemisahan sampah dan pengelolaan sampah untuk kompossing. Aplikasi ini bisa dikembangkan di sekolah-sekolah dan lingkungan pemukiman.

4. Pemanfaatan lahan gambut – bagi siswa dan siswi smp, sma – dengan metodologi penyuluhan dan praktek. Materi Usulan Dari Dinas Pertanian: a) Kearifan budaya lokal dalam budidaya tanaman pangan dan hortikultura di tanah gambut b) Pengolahan lahan tanpa baker c) Penggunaan pupuk organic, d) Penggunaan pestisida hayati, e) Usaha tani terpadu, f) Penataan air ditingkat usaha tani, g) Pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, h) Penyuluhan pertanian.

5. Metodologi penyampaian: Pemutaran film, Buku Bacaan yang efektif dan murah, belajar mebgajar, kunjungan lapangan, praktek lapangan, diskusi bersama, dlsb.

6. Materi Penunjang: Cerita rakyat tentang Gambut – tentang BEJE, KEBUN ROTAN, KARET, Visual film tentang praktek mengelola gambut. Buku bacaan dan gambar-gambar

Catatan Penting Hasil Lokakarya:

1. Isu pembangunan sumberdaya gambut masih di selimuti dengan hadir investasi besar perkebunan kelapa sawit yang akan memberikan dampak kerusakan gambut yang lebih parah. Untuk melakukan proses transformasi pengetahuan atas situasi gambut, gagasan untuk membangun sekolah gambut menjadi strategi pilihan untuk penyadaran bagi public dalam penyelamatan sumberdaya gambut di Kalimantan Tengah.

2. Pada prinsipnya, ide dan gagasan untuk mendorong penyelamatan gambut melalui pendidikan dan penyadaran di tingkat masyarakat, para peserta sepakat dan mendukung guna pengembangan sumberdaya manusia dan pengelolaan gambut secara lestari.

3. Kurikulum pendidikan bagi sekolah, dapat untuk menjadi masukan sekolah formal dan sekolah informal. Melalui pengadaan bahan bacaan pustaka maupun melakukan implementasi sekolah gambut ditingkat lapangan secara jangka panjang.

Kontak Alamat: PETAK DANUM
Jalan Keruing No. 06 RT. III RW. XVI Kelurahan Selat Dalam Kecamatan Selat 73516
Telpon 0513-22352 Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah

SEKOLAH GAMBUT DI DUKUNG PARA PIHAK


Laporan lapangan dari penjajakan potensi dan dukungan Sekolah gambut

Upaya mendorong percepatan sekolah gambut di Kalimantan Tengah, khususnya di eks PLG 1 juta hektar. Yayasan Petak Danum mencoba untuk menggali pendapat, informasi dan masukan yang mendukung gagasan sekolah gambut dari sisi penyusunan kurikulum dan pelaksanaan kegiatan nantinya. Penjajakan potensi para pihak dilakukan mulai akhir bulan februari 2009 sampai 10 Maret 2009 di beberapa tempat Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. Upaya ini sebenarnya bagian dari strategi Petak danum dengan Sekolah Gambutnya untuk mengajak semua pihak untuk menyelamatkan gambut melalui materi pendidikan bagi umum dan pelajar sekolah di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. Dari penjajakan ini, beberapa pandangan yang di dapat para pihak sebagai berikut:

1. J.A. UDAS (Demang Kepala Adat Kecamatan Kapuas Barat)
J.A. UDAS salah satu Demang kelapa adapt yang ada di Kapuas, sangat setuju sekali dengan adanya program Sekolah Gambut untuk anak sekolah. Supaya generasi penerus dapat memahami dan mengerti tentang lahan- lahan gambut yang ada disekitar kita,dan bisa dimanfaatkan dan di gunakan dengan sebaik-baiknya. Ini semua demi kelesterian anak, cucu kita nanti. Materi yang saya inginkan bagaimana cara kita mengolah tanah-tanah gambut yang ada disekitar kita supaya dapat menghasilkan lahan-lahan dengan tanaman yang baik.Supaya dapat mengangkat tarap hidup masyarakat setempat. Makanya dengan itu diperlukan orang yang lebih ahli dibidangnya.dan dapat diterbitkan buku-buku dan harus ada orang yang turun langsung kelapangan guna memberikan penyuluhan – penyuluhan tentang gambut. Yang tepat mendapatkan pelajaran gambut ini adalah sekolah bagaian Pertanian dan bisa mendapatkan guru ahli tentang gambut.

2. Bapak GUMER L SATU (Anggota Dewan adat Lembaga Adat Dayak Kalteng)
Materi sekolah gambut sangat setuju dari pikiran Bapak Gumer, Tetapi bila di masukan menjadi kekurikulum sekolah itu sangat sulit sekali. Karena kurikulum sekolah sudah diterbitkan kan oleh menteri pendidikan dan sesuai dengan rapat – rapat dan perundingan orang – orang yang ada dibidanngnya. Tapi seandaainya ini bisa itu sangat baik sekali. Supaya diterima dengan baik harus diadakan penelitian secara teknis dan dapat di kembangkan terlebih dahulu oleh pihak pertanian dan kehutanan.karena mereka yang bergerak dibidangnya.

Karena gambut sangat sulit diprediksi. Dan perlu ada banyak penelitian – penelitian. Tentang apa sebenarnya gambut itu dan dari mana asalnya. Dampak - dampak yang diterima misalkan adanya gambut. Menurut pendapat saya yang tepat ini bukan sekolah gambut tapi tempat melakukan kegiatan atau balai pertemuan sebagai berikut antara lain: 1) Melakukan pelatihan / penyuluhan tentang gambut oleh orang yang ahli dibidangnya, 2) Penyuluhan didesa – desa, 3) Training / percobaan dari pihak pertanian dan praktek langsung. Untuk itu perlu adanya kerangka penyusunan kurikulumnya.

3. Kepala Sekolah SMK III Pertanian Kapuas.
Dukungan dari Kepala Sekolah atas sekolah gambut cukup baik. Dan berharap dapat menjadi mata pelajaran yang harus diikuti, wajib dan dipraktekkan disekolah. Pihak sekolah SMK III siap untuk mengajarkannya.karena ini sangat untuk masa - masa yang akan datang serta lahan gambut terus bisa dimanfaatkan oleh masyarakaat disekitarnya, dapat menghasilkan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Saya anjur kan ini sangat baik diajarkan disekolah yang banyak transnya. Sangat tepat kalau sekolah pertanian yang dapat mata pelajaran ini. Karena kita akan tahu apa dampak dan hasilnya lahan gambut bagi masyarakat sekitarnya. Tapi yang lebih penting harus ada bahan panduan untuk menjadi dasar pembelajaran bagi murid2 disekolah.seperti buku, lembar informasi, brosur dan materinya harus di susun ulang dan dibuat kan kurikulum baru dan harus ada orang yang ahli dibidang gambut.

4. Bapak Suwarno. M,S.Ag.M.PD (Dinas Pendidikan Nasional)
Ini ide gagasan yang cukup baik untuk di realisasikan, kebetulan saya baru pulang dari training pengembangan modul kurikulum pendidikan bagi kalangan pelajar, dan seandainya banyak waktu tersedia saya akan melibatkan diri untuk terlibat aktif dalam menyusun materi kurikulum sekolah gambut.

5. Bapak Simpei Ilon (Kepala Adat Demang Selat)
Yang penting cara pemanfaatan lahan gambut dan cara membudi daya tanaman dilahan gambut cara pengolahan dll.yang dianggap perlu untuk membantu masyarakat dalam meningkatkan tarap hidup masyarakat khusunya kalteng.

Senin, 22 Desember 2008

Sekolah Gambut

Untuk Pendidikan dan Transpormasi Budaya dan Kearifan Lokal

Inisiatif Belajar Gambut Bersama Rakyat

Untuk pendidikan Formal maupun In formal di Kalimantan Tengah

Disiapkan oleh: Petak Danum, ARPAG, Koperasi Hinje Simpei 2008

di asistensi oleh Sarekat Hijau Indonesia (SHI)

Sekolah Gambut adalah salah satu ide dan gagasan masyarakat bersama Yayasan Petak Danum dalam membagi pengetahuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya kekayaan alam gambut berbasis kearifan masyarakat lokal.

Sekolah Gambut bertujuan untuk mentrasformasikan pengetahuan lokal generasi terdahulu kepada generasi muda serta kepada publik untuk mengerti dan memahami sumberdaya kekayaan gambut dengan beragam pengelolaannya.

Latar belakang dari mendirikan sekolah gambut di dasari pada situasi dan kondisi masyarakat sekitar gambut dan para pihak banyak yang tidak memahami tentang gambut yang dikelola sacara tradisional yang telah banyak menyumbangkan manfaat bagi ratusan ribu jiwa baik yang bermukim di kawasan gambut maupun di luar kawasan gambut. Karena Gambut merupakan salah satu kekayaan yang cukup khas yang dimiliki oleh Kalimantan Tengah serta tata cara pengelolaannya juga cukup rumit dan telah dilakukan sejak lama oleh penduduk secara berkelanjutan. Gambaran ini lah yang akan menjadi titik utama berangkat mendirikan sekolah gambut di Kalteng.

Bagaimana sekolah ini bisa berjalan? Upaya yang dilakukan adalah dengan rencana kerja bersama antara masyarakat dan YPD dalam merealisasi sekolah gambut ini, pertama penyiapkan sumberdaya manusia sebagai tenaga pengajar di sekolah, kedua; menyiapkan kurikulum pendidikan di sekolah gambut, ketiga, melengkapi sarana dan prasarana sekolah bersama masyarakat. Sekolah gambut ini akan dibuat dua cara, pertama; membangun dan merealisasi sekolah gambut ditingkat desa, kedua; membuat materi-materi sekolah untuk dimasukan kedalam ektra kulikuler maupun menjadi mata pelajaran khusus di sekolah-sekolah formal yang ada di Kalteng dan memiliki kawasan gambut.

Untuk kali pertama sekolah gambut akan di laksanakan tahun 2009, dan akan di bangun di 10 Desa sebagai sentral sekolah antara 80 desa yang terdapat di kawasan gambut eksp PLG 1 juta hektar. Sekolah gambut ini pada tahap awal masih dilakukan secara swadaya dan tidak menutup kemungkinan akan melakukan kerjasama dengan pihak lain baik secara formal maupun in formal. Sekolah ini juga akan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Nasional provinsi dan Kabupaten.[koes/12/2009]

Kamis, 27 November 2008

REDD INDUSTRI TIDAK ADIL BAGI RAKYAT


Gagalnya Regime Global

Krisis energi global adalah persoalan ekonomi politik yang merupakan soal penguasaan akses ekonomi, alokasi sumber ekonomi, dan distribusi manfaat atas sumber-sumber ekonomi. Ini adalah soal siapa yang memperoleh manfaat (keuntungan), siapa yang menanggung biaya eksternalitas, diantaranya adalah biaya kerusakan/pencemaran lingkungan. Krisis lingkungan global adalah soal tatanan sosial-ekonomi yang tidak adil.

Secara umum sebagian besar penduduk negara –negara kaya dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang tinggi berkat penghisapan terhadap kekayaan alam dan modal sosial di negara-negara selatan atau negara yang lebih miskin, serta terhadap kelompok yang lebih rentan pada umumnya. Gaya hidup dan pola konsumsi mereka bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup dan tatanan sosial akibat eksploitasi yang membabi buta di negara-negara yang menjadi sumber penghisapan.

Perubahan iklim merupakan hasil persamaan yang kompleks dari gagalnya model pembangunan skala global. karena itu setiap upaya untuk menghindari pemanasan global dan perubahan iklim serta upaya-upaya beradaptasi pada kondisi atmosferik yang berubah juga tidak sederhana. Melihat kembali persoalan hubungan antar bangsa, negara, dan individu yang terjadi selama berabad-abad dan tidak kunjung berubah, tidaklah layak menafikan kondisi ketidak adilan yang masih terus menerus terjadi.


REDD salah satu Proyek “TOILET” Pemanasan Global

Pemanasan global menjadi rumit karena ternyata skema mekanisme pembangunan bersih tidak secara spesifik bicara soal reduksi karbon dari sektor kehutanan dan sampai hari ini tidak mampu diaplikasikan di sektor kehutanan. Hutan Indonesia hanya dihargai sebagai “TOILET” C02 oleh nagara penyumbang perusakan bumi. Padahal hutan bagi masyarakat dan Bangsa Indonesia, menjadi bagian dari kehidupan, mulai dari kayu, daun, sumber air, energi dan pangan rakyat sekitar hutan.

Maka, muncul tawaran mekanisme baru, yaitu REDD (reducing emissions from deforestation and degradation), yang diharap mampu menjembatani mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism-CDM) dengan penanganan kerusakan hutan (deforestasi). Program REDD sendiri menawarkan kewajiban membayar negara-negara Utara kepada negara-negara Selatan guna mengurangi penggundulan hutannya, dan atau negara-negara Selatan juga dapat menjual kemampuan serap karbon yang dimiliki hutannya kepada Utara. Dengan skema tersebut, diharapkan kontribusi emisi dari deforestasi (khususnya pada hutan hujan tropis) yang mencapai 20 persen dari total emisi karbon di atmosfer dapat dikurangi.

REDD Skema Baru Pencucian Dosa

Sistem klasifikasi hutan untuk REDD dapat menggunakan sistem klasifikasi hutan pada tataguna hutan kesepakatan (TGHK) yang terdiri dari hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung dan hutan konversi. Klasifikasi ini dirinci lebih jauh ke dalam kelas hutan tidak terganggu, terganggu atau sudah menjadi hutan tanaman industri dan bukan tutupan hutan (tebang habis yang tidak diikuti oleh penanaman hutan industri). Selain itu juga harus ditambahkan areal di luar kawasan hutan yang berada di bawah pemerintah daerah yang kondisi masih berupa hutan. Dengan pengakatagorian ini memungkinkan untuk memasukkan semua hutan baik yang ada di dalam maupun luar kawasan ke dalam skema REDD dengan melibatkan semua pihak baik pusat maupun daerah."


Dengan Klasifikasi model ini maka yang terjadi adalah masyarakat yg selama ini berada dlm "kawasan hutan" berdasarkan aturan TGHK (luas kawasan hutan = 120 juta ha) akan "terusir" dari kawasan tersebut. Demi mengejar targetan REDD tersebut maka Pemerintah Pusat via Dephut, BPN, DepTan beserta Pemerintah Daerah akan secara membabi-buta menetapkan tatabatas hutan (target mereka sampai tahun 2009 akan menetapkan tatabatas hutan terpadu sampai dengan 30%). Ini akan berdampak pada ketersingkiran masyarakat di "kawasan hutan". Secara tegas dalam IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance) memandatkan untuk menegosiasikan "kebun kayu" (HTI), Perkebunan Kelapa Sawit dan Kawasan Konservasi ke dalam skema REDDI. Dan ini berarti tidak ada tempat buat Rakyat. Sebab yang paling diuntungkan adalah para pebisnis di sektor hutan, sektor perkebunan dan sektor konservasi. Bahkan sektor perkebunan sekala besar melakukan lobby tingkat tinggi kepada FAO, bahwa pohon sawit sama fungsinya dengan fungsi hutan.
Penegasan ini pernah di ungkap oleh Pejabat Provinsi Kalimantan Timur, Kepala Dinas Perkebunan Kaltim. Dengan tanpa rasa berasalah, pejabat tersebut ngotot kalau sawit fungsinya sama dengan fungsi hutan. Sungguh luar biasa argumentasi ini dan amat bodoh. Lobby ini di motori oleh pengusaha Malaysia yang sedang bersekongkol untuk mendapatkan dana segar dagang karbon dan mencuci dosa konflik social, ekonomi dan perusakan hutan (konservasi besar-besaran) serta penggusuran masyarakat adat dari tanahnya.

REDD Bukan Solusi Nyata Perubahan Iklim

Rendahnya martabat Bangsa Indonesia di pentas global ini ditunjukkan melalui proposal REDD-I (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia), Mekanisme ini menegaskan pemerintah untuk mengemis kepada negara-negara Utara dalam memperbaiki kondisi hutan Indonesia, maka tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Indonesia. Mengapa demikian? Karena negara-negara Utara juga memiliki tanggung jawab besar ketimbang ‘membagi’ uang receh kepada negara-negara berkembang, seperti Indonesia, untuk menjaga kelestarian hutannya, sementara mereka terus memproduksi karbonnya dalam jumlah yang lebih besar.”

Pertama; REDD tak lebih dari upaya menutup akses masyarakat lingkar hutan untuk mengambil manfaat dari hutan berdasar hukum adat yang mereka warisi secara turun-temurun. Kedua, REDD tak lebih dari kesempatan menyubsidi sektor privat dan korporasi, yang pada hakikatnya merekalah yang bertanggung jawab atas deforestasi di Indonesia. Ketiga, REDD akan menjadi alat konsolidasi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan dan pertambangan. Keempat, REDD merupakan wujud penyederhanaan dan kedangkalan pikir. Betapa tidak, hutan adalah ekosistem yang kompleks, dan memiliki nilai penting bagi kehidupan umat manusia, lebih dari sekadar transaksi ekonomis jual-beli karbon.

Ada persoalan besar dengan REDD yang paling mendasar dari skema yang berbasis pasar/ market adalah masalah ideologi. Seperti diketahui Kyoto Protokol mengatur berbagai cara agar emisi karbon negara2 industri dikurangi sebanyak 5% dari tingkat emisi yang mereka keluarkan pada tahun 1990. Nah, protocol ini mengatur salah satu pengurangan tersebut dengan berbagai cara yang intinya memberi nilai moneter pada karbon tersebut yang kemudian dapat ditransfer dalam bentuk kompensasi atas karbon yang mereka keluarkan.

Karena hutan adalah penyerap karbon maka skema ini mengatur bila satu daerah bisa secara meyakinkan mengurangi atau mencegah deforestasi maka dia akan medapat kompensasi dana. Secara teknis mereka dapat menghitung berapa banyak karbon yang diserap atau dicegah tidak terlepaskan ke atmosfir dengan tetap menjaga hutan tersebut tidak rusak/ditebang, dan inilah yang dijual ke pasar. Pihak industri (minyak, penerbangan, dll.) sangat suka ide ini, karena daripada mereka harus mengurangi emisi mereka sendiri.

Insentif untuk tidak menebang hutan nampaknya OK, tetapi bila dilihat ini dari keadilan iklim, ini sangat tidak adil, karena skema ini membiarkan tingkat pihak industri tersebut terus melakukan polusi atmosfir kita yang pada akhirnya akan menjadi masalah sosial secara global karena perubahan iklim. Hanya karena mereka bisa membayar, mereka dapat melakukan ini, Disamping itu, tanah/hutan yang akan dipakai oleh skema ini akan menjadi semacam area status-quo dimana masyarakat tidak boleh menebang atau memanfaatkannya. Persoalannya adalah mengapa tanah/hutan orang lain digunakan untuk melayani polusi yang dilakukan oleh orang lain? Lebih lanj

Menegasikan Inisiatif Rakyat Selamatkan Hutan

Orang Muluy telah lama menjaga hutan gunung lumut, sejak ratusan tahun lalu. Muluy adalah salah satu desa di Kabupaten Paser Kalimantan Timur, isu mencuat Muluy ketika, warga melakukan protes atas kehadiran perusahaan HPH sekitar tahun 1984, waktu itu kendaraan logging HPH PT. Telaga Mas di bakar, based camp pekerja di bakar dan jalan logging di blokade warga. Peristiwa ini membuka para pembuat kebijakan untuk memperhatikan protes penduduk Muluy atas keinginannya dalam melindungi hutan gunung lumut. Hutan Gn. Lumut, melindungi 3 DAS sungai yang bermuara ke Ibukota Kabupaten, mensuplai air bersih bagi sekitar 300.000 jiwa penduduk dan melakukan perlindungan hutan tropis di kalimantan timur. Saat ini, warga Muluy telah memanfaatkan sumberdaya hutannya untuk kepentingan kehidupan yang berlanjut, dengan listrik mikrohydro penduduk sudah dapat mengakses penerangan dan digunakan untuk pendidikan, industri kecil yang sedang di upayakan. Penduduk melindungi dan merehabilitasi hutan yang ada.

Cerita lain, dari masyarakat adat Ngaju di Kalimantan Tengah, yang berjuang bersama untukmempertahankan hak-hak kelolanya atas sumberdaya alam gambut dari proyek PLG 1 juta hektar. Lebih 1 juta hektar hutan gambut dibabat untuk pertanian padi oleh Regime Soeharto, walaupun proyek ini disebut gagal, tetapi kerusakan hutan gambut sedang diupayakan pemulihannya oleh masyarakat ngaju secara swadaya. Hutan-hutan tersisa tetap dilindungi bersama dan dimanfaatkan untuk kehidupan berkelanjutan sampai masa depan. Saat ini menurut laporan dari Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG) dan Yayasan Petak Danum (YPD) telah menyatakan untuk menjaga 200.000 hektar hutan adat yang akan di lindungi bersama dan dimanfaatkan berdasarkan kesepakatan aturan adat. Tidak kurang dari lebih 150.000 pohon hutan dan rotan telah di tanam di kebun-kebun penduduk yang dulu di rusak oleh proyek lahan gambut sejuta hektar. Ada sekitar 7.000 hektar sawah yang berhasil di cetak secara tradisional di 12 desa yang dilakukan sejak tahun 1999.

Melawan "Pasar" Karbon, melalui Isu perubahan iklim

Perlawanan tidak cukup dilakukan oleh orang Muluy di Gunung Lumut, oleh orang Katu di Lore Lindu, oleh orang Suku Anak Dalam di Bukit Barisan, oleh orang Basap di Pegunungan Kapur Berau, oleh orang Ngaju di wilayah adat Gambut Kalteng, oleh orang Papua di lembah baliem. Perlawanan juga tidak hanya dilakukan oleh aktivis dan NGO yang sadar akan Kolonialisme baru abad 20, di Jakarta, Kalimantan, Sumatera, Celebes, Papua dan Tanah Jawa, tetapi perlawanan harus menjahit erat antar negara selatan untuk memaksa negara utara tidak lagi mengisap dan menindas rakyat negara berkembang dengan membungkam melalui skema REDD. Negara dan bangsa-bangsa asli di selatan menolak tunduk di bawah kolonialisme utara, menolak tunduk di moncong perang, menolak tunduk embargo dan menolak tunduk pada demokrasi sembako.

Negara-negara selatan harus menyatukan kekuatan untuk menggugat tanggung jawab negara-negara utara untuk membayar hutang sosial ekologis mereka.Negara-negara selatan harus pula membangun inisiatif-inisiatif perombakan tatanan sosial ekonomi global yang tidak adil.

Negara-negara selatan harus berhenti berebut 'proyek pemanasan global' atau keuntungan ekonomi jangka pendek dari perdagangan karbon. Sudah saatnya kita meninggalkan investasi yang tidak etis dan anti-ekologi, yang saat ini didominasi oleh korporasi dengan dukungan negara-negara utara dan negara-negara kaya baru. Kita harus berhenti merampas akses rakyat atas sumber-sumber agraria, tidak melanggengkan komoditi buruh murah dan menolak transfer teknologi yang tidak ramah lingkungan.[koes/Nov/2008]